Selasa, Desember 11, 2007

Lihat, Ayah! Ara Bisa Nulis!

Gak terasa sebentar lagi Ara akan masuk TK. Sejak beberapa bulan yang lalu gue dan Tia udah sibuk tanya kiri-kanan tentang beberapa TK yang ada di sekitar Billy&Moon. Dari riset yang kami lakukan, kami menyimpulkan bahwa ada tiga macam TK di sekitar tempat tinggal kami: TK umum, TK kelas kampung dan TK Islam dengan kurikulum Internasional.

TK umum yang terdekat dari rumah kami termasuk salah satu TK yang bagus kualitasnya. Lulusannya dijamin siap untuk belajar di tingkat SD, yang sekarang semakin sulit aja pelajarannya. Tidak seperti TK lain yang tidak lagi menggunakan sistem klasikal, TK tersebut masih setia menggunakan meja dan kursi kecil untuk anak-anak didiknya. Namun demikian, metode pengajarannya tetap dibuat menarik sehingga anak tetangga kami yang terkenal bengal pun rela bangun pagi untuk segera berangkat ke sekolahnya.


Yang gue maksud dengan TK kelas kampung di sini bukan berarti TK di tengah kampung. Meskipun ada satu atau dua yang dibuka di tengah kompleks perumahan, namun penyelenggaraanya gak jauh beda dengan TK-TK yang ada di pinggiran. Beberapa orang tetangga yang pernah mengirim anaknya belajar di sana sempat mengeluh karena anak mereka ternyata tidak siap untuk belajar di SD, sehingga harus masuk kelas persiapan terlebih dahulu.


Di daerah sekitar kompleks tempat gue tinggal sekarang, ada dua TK yang menerapkan kurikulum internasional. TK-TK tersebut merupakan wujud dari keinginan kami berdua. Gue kepengen Ara masuk TK Islam agar bisa mendapat pendidikan dasar Islami yang baik, sedang Tia kepengen Ara belajar di sekolah bilingual supaya bisa belajar bahasa asing sejak dini. Kedua TK tersebut adalah TK Islam berkurikulum internasional yang mengenalkan Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Impian menjadi nyata, kan? Ara bisa belajar Islam dengan baik sambil belajar Bahasa Inggris. Kedua TK tersebut juga punya SD sebagai jenjang pendidikan berikutnya.


Setelah riset tambahan atas kedua calon TK pilihan kami ini, kami mendapatkan informasi yang mengejutkan tentang salah satu TK tersebut. TK itu ternyata berafiliasi dengan sekolah di Malaysia, yang sebagai akibatnya setiap anak yang akan lulus SD harus pergi ke Malaysia selama dua minggu untuk ujian tambahan. Sedang TK dan SD Islam Internasional satunya yang tak jauh dari situ tidak punya embel-embel tambahan itu. Dari hasil blog walking, gue juga tau bahwa salah satu awak televisi yang terkenal di ibukota juga punya anak yang belajar di sekolah itu. Mengingat orang itu adalah profesional muda yang terpelajar, gue dan mamanya Ara akhirnya beranggapan bahwa pilihan yang dia bikin itu pasti udah well-informed. Gak salah dong kalo gue nebeng … hehehehe …. (gak mao cape nih …). Sekarang gue lagi nunggu undangan dari TK & SD ini untuk acara Open House mereka. Mudah-mudahan mereka gak lupa ngundang gue … Hehehehehe …


Tapi, sebenarnya gue dan Tia udah mulai mengenalkan huruf-huruf kepada Ara lama sebelum kami mulai mencari informasi tentang TK dan SD. Segala macam alat peraga kami beli, termasuk VCD pelajaran. Pelan-pelan, Ara sudah mulai mengenal huruf. Gue juga rajin beli buku latihan menulis (yang isinya huruf-huruf yang ditulis dengan titik-titik yang harus disambung sebagai latihan menulis huruf) di depan Wisma Metropolitan setiap habis Jum’atan (Lima ribu tiga …. Lima ribu tiga … Lima ribu tiga !!!) Ternyata Ara suka latihan menulis huruf itu. Kalo bukunya sudah habis, dia pasti minta dibeliin lagi. Karena cuma lima ribu dapet tiga buku, dengan senang hati gue bawain buku-buku baru setiap kali dia minta.


Kemarin gue dikagetin sama Ara. Dia yang lagi duduk tenang di meja belajarnya memanggil gue buat ngeliat dia aksi belajar menulis. Mbak-nya Ara mendiktekan huruf-huruf yang harus Ara tulis dan Ara menuliskannya dengan cepat dan benar !! Dalam waktu singkat dia bisa menuliskan nama lengkapnya: TIARA HALIZA ALFARANI dan kata-kata pendek lainnya (termasuk mama dan ayah, tentunya). Gue jadi yakin, Ara pasti akan bisa ngikutin pelajaran dengan baik nanti di TK. Tapi, kenapa tulisan kamu gak lurus gitu ya, nak? Hahahahaha ….


Senin, Desember 10, 2007

Oleh-oleh dari Singapura dan Hongkong

Minggu lalu, gue diminta nemenin seorang klien, pengacara-pengacaranya dan beberapa orang polisi ke singapura dan Hongkong. Sayang, gue gak punya waktu banyak buat sight-seeing (iya lah, gue ke sono kan dalam rangka kerja ...) Tapi setiap ada kesempatan gue minta buat difoto sama LO-nya ... Hehehehehe .... Nih foto-fotonya ...

Foto di depan pintu masuk hotel di Singapore.

Di depan Capitol Building, Singapore (Minta difoto sama cewek cakep yang lagi lewat, hehehe ...)


Kecepetan sampe di Changi buat terbang ke Hongkong, ya ... foto-foto dulu lah ....


Sampe di Hongkong udah sore, masuk hotel, trus jalan-jalan sebentar ...


Di sela-sela meeting di IFC Two, gue diajak makan siang di IFC Mall bareng klien dan para pengacaranya. Foto diambil di depan pohon natal yang gelayutan di ceiling ... (alias gak pake tiang) ...


Pemandangan dari jendela restoran di IFC Mall.


Seusai meeting udah malem, gue diajak makan malem di Rainbow Sea Food Restaurant (katanya sih punya Jackie Chan) di Lamma Island. Sambil nunggu ferry-nya dateng, ngapain lagi kalo bukan foto-foto. Ini foto diambil dari Pier 9 yang gak jauh dari gedung IFC Two. (Tinggi banget, bow! Gue meeting di lantai 63!)


Pemandangan malam dari Pier 9



Sebelom pulang, masih sempet ke Park Lane trus difoto di depan Sogo (blom buka soale ... Hehehe ... Begitu buka gak sempet belanja, karena cuma punya 45 menit! Dapet apaan?)

Tapi seneng juga sih ... Kapan lagi bisa jalan-jalan gratis ??

Jumat, November 23, 2007

Microlax dan Susu Formula

Dalam kehidupan gue sebagai orangtua ada satu fase yang begitu menyedihkan karena gue harus melakukan sesuatu yang sangat gue benci dan sekaligus sangat menyakitkan bagi Ara. Mungkin karena proses kelahirannya yang istimewa, tubuh Tia tidak dapat memproduksi ASI sebanyak yang diperlukan oleh Ara. Segala cara yang dinasihatkan kami coba semuanya (gue bahkan jadi lebih ahli dalam hal pijat payudara dari sebelumnya … hehehehe), namun hasilnya tetap aja kurang memuaskan. Sebagai akibatnya, Ara menjadi sangat bergantung pada susu formula. (Don’t be sad, honey … you are not to blame …)


Dengan susu formula, pertumbuhan Ara memang begitu pesat. Dalam waktu singkat, Ara menjadi begitu montok dengan berat badan yang bertambah secara stabil, sehingga sulit dipercaya bahwa Ara dulu lahir hanya dengan bobot badan 1,7 kg. Ketika masih bayi, Atas rekomendasi Oma dokternya, Ara kita kasih susu tambahan. (Halah! Itu susu susah banget dapetnya. Kita harus pergi ke Carrefour di Kuningan untuk bisa dapetin itu susu. Jadi sekali beli, kita bisa bawa pulang berkaleng-kaleng supaya gak bolak-balik) Setelah itu, kami mengganti susu Ara dengan merek yang lebih gampang dicari. Cukup lama kami menjadi pelanggan susu itu, Ara sampe dapet sebuah meja plastik kecil lucu dari hasil nukerin sendok susunya.


Akan tetapi, susu formula ternyata juga membawa petaka bagi Ara. Konsumsi susu formula membuat Ara jadi susah buang air besar alias konstipasi. Meskipun hal ini merupakan hal yang lazim bagi anak yang minum susu formula, tapi kalau melihat sendiri bagaimana menderitanya Ara setiap kali buang air besar, segala macam teori tentang hal itu tidak lagi berpengaruh. Sebagai jalan keluar Oma dokternya Ara menyarankan penggunaan Microlax. Obat ini bekerja sebagai perangsang kerja usus untuk mengeluarkan feses sekaligus pelumas agar feses dapat keluar dengan mudah. Masalahnya, obat ini diaplikasikan lewat anus. Gue dan Tia harus memasukkan bagian nozzle dari tabung obat ini ke pantat Ara dan memencet kuat-kuat tabungnya agar obatnya masuk ke ususnya untuk kemudian do the magic. Tak sampai lima menit setelah diaplikasikan, Ara akan dengan sendirinya mengejan untuk mengeluarkan feses dari perutnya.


Meskipun kami memberikan Microlax hanya apabila Ara tidak buang air besar sendiri dalam jangka waktu EMPAT hari berturut-turut (menurut teorinya sih, kalo kita tidak b.a.b. selama 4 hari, kotoran yang tertahan di dalam perut akan meracuni tubuh kita), nampaknya, apa yang kami lakukan ini memiliki dampak psikologis pada Ara. Kami harus berjuang keras untuk memberinya Microlax. Ara selalu menangis sambil meronta-ronta setiap kali kami harus melakukannya. Meskipun air mata berlinang dan hati yang teriris-iris, kami tak punya pilihan lain untuk membantu Ara selain Microlax. Yang membuat hati kami hancur adalah setelah beberapa lama kami berikan Microlax, Ara tidak lagi meronta, dia hanya menangis lirih memohon agar kami tidak melakukannya.


Berulang kali kami mencoba untuk melakukan hal-hal yang disarankan kawan dan saudara untuk mengatasi konstipasi itu. Mulai dari mencoba memberinya buah sampai supplement serat yang lumayan mahal harganya, yang kesemuanya ternyata gak berhasil. Ada yang menyarankan kami untuk memberinya banyak air putih, tapi saat itu Ara sepertinya tidak punya masalah dengan asupan air. Dia minum kayak ikan mas koki! Bahkan lebih banyak dari orang dewasa.


Karena konstipasi itu, Ara menjadi kurang nafsu makan. Kami coba untuk membuat menunya bervariasi. Havermut juga kami beri untuk mengganti nasi. Di tengah keputusasaan kami, gue dapat info dari kakak gue tentang seorang dokter yang biasa nanganin anak yang susah makan. Info itu dia peroleh dari salah seorang temannya yang punya anak yang juga susah makan (tapi penyebabnya mungkin beda dari Ara). Dokter tersebut tinggal gak jauh dari RS Budi Asih. Karena merasa gak ada ruginya, akhirnya kami nekat untuk mencobanya. Di sana, kami bertemu dengan beberapa orang tua muda seperti kami yang memberikan testimony tentang kemanjuran obat dari dokter ini. Kami pulang dari tempat praktek dokter itu dengan membawa sekantung vitamin penambah nafsu makan. Atas saran oomnya Tia yang juga dokter di Surabaya, kami hanya memberi vitamin 2 kali sehari, bukan 3 kali seperti yang disuruh oleh ibu dokter itu.


Alhasil, nafsu makan Ara benar-benar berubah. Dia tidak lagi menolak makanan yang kami berikan. Dia juga tidak lagi menolak untuk minum jus papaya (yang sudah kami modifikasi sedemikian rupa dengan menambahkan sirup secukupnya). Asupan serat buah dan sayuran pun akhirnya jauh lebih mudah masuk ke perut Ara. Frekuensi pemakaian Microlax juga semakin menurun meskipun belum sepenuhnya berhenti. Entah ilham dari mana, tiba-tiba kami menyadari bahwa dari semua hal yang sudah kami lakukan, hanya ada satu yang tetap tidak berubah: SUSU FORMULANYA! Ya … Ara memang sudah kami beri supplement serat, havermut dan buah, tapi susunya gak pernah kami ganti. Kami pun mengambil keputusan drastis untuk mengganti susu Ara dengan merek susu lain yang bukan susu formula.


Pada awalnya kami sempat kecewa karena setelah beberapa hari mengkonsumsi susu baru non-formula, Ara masih saja sulit buang air besar. Namun, segala sesuatu kan pasti ada prosesnya. Kami hanya perlu memberi Ara Microlax satu kali lagi. Setelah itu, ALHAMDULILLAH masalah konstipasi Ara terselesaikan. Ara juga tidak lama minum vitamin dari dokter yang gue maksud di atas. Setelah kami rasa Ara sudah terbiasa dengan pola makan yang kami terapkan, kami pun menghentikan pemberian vitamin itu meski itu berarti kami harus membuang hampir separuh kantung yang tersisa.


Sekarang tidak lagi sulit untuk memberikan jus pepaya kepada Ara. Ara minum satu gelas besar jus pepaya di pagi hari dan satu gelas lagi di sore hari. Kami juga terus memberi supplement serat setiap malam yang kami campur dengan susunya. Hasilnya, Ara rutin ke toilet untuk b.a.b. sedikitnya satu kali sehari. Oh ya … Ara sekarang menolak untuk menggunakan dudukan toilet tambahan setiap kali dia hendak buang air. “Ara udah gede,” katanya ….

Minggu, November 18, 2007

The Pink Bike


It took place during the days of no-maids-at-home. Our maids apparently had made plans for their Lebaran holidays. They told us, rather than asked for our permission, that they would be leaving for their home town three days before the government-version of Lebaran days (yes, this year those “smart” guys again decided to have different opinion about the holidays). In total, they were in their hometown for almost TWO WEEKS! What a plan …


Maybe it was God’s plan that the holidays fell on a weekend and my office was closed from one day before the holidays until two days afterwards. I only had to take a 3-day leave for helping my wife at home. Our main concern was taking over the nanny’s daily routines with Ara. This was quite a challenge because even though Tia is at home every day, she spends most of her time working in her “office”, a small corner of our bedroom. She would come out of her little corner several times to check out how things are going with our princess, which has been very effective thus far. With her day-to-day control and my past experience with kids, we should have an easy task to do.


Our routines started early in the morning as Ara opened her eyes and immediately dragged us out of the bedroom to take her to her cozy couch for watching the morning cartoons. Ara would watch her favorite shows, including Tom & Jerry, Chalk Zone, Spongebob and Dora the Explorer, while I prepared her breakfast. Once the shows were over and the breakfast was ready, Tia and I would take her to the bathroom, give her a good bath with warm water and let her play for a while with her toys there. Putting on the right clothes was a quite a challenge, especially when Ara suddenly had her own idea of which clothes to wear. The next challenge was taking the food into her little mouth, including ensuring that she chewed the food and waiting for the right time for the next spoon of food. We were such a sucker in this game. It would normally take an hour for us to complete this task, while the nanny only needs few minutes.


After breakfast, we would spend the whole morning playing any game with Ara until it was time for lunch. Lunches were usually easier as we would be able to finish the task fifteen minutes earlier than breakfasts. We would spend another hour playing before it was time for Ara to take a nap. This meant that we had time to rest for an hour or two. Ara would wake up at around two in the afternoon. The three of us would then play some more games until it was time for Ara to take the afternoon bath. After bath, we would have a choice of going around the neighborhood on my motorbike, going to the nearby supermarket or playing in the nearby playground.


Then it was time for her dinner and we would be engaged in the same struggle once again. When dinner was finished, we would usually spend some time to play with Ara again until seven thirty at night when Ara is usually ready for a good night sleep. We would be so exhausted when Ara was finally asleep. However, we could not go to sleep yet until ten thirty when we would wake her up and take her to the toilet to pee (we have been practicing this for almost a year and it has been very effective to ensure that she does not wet the bed). By eleven at night, we would be in a sound sleep until it was time for the princess to wake up and for us to engage in the same struggle again.


The nanny’s days-off were about to end and so was my leave. Ara had been very “kind” to us that we enjoyed every enduring minutes with her. Yes, for once I lost my temper when she refused to eat her lunch. I scolded her for such a behavior and regretted the action when I found out that it was because the soup was too hot for her. Other than that, the three of us got along just fine. We had actually been planning to buy her a bicycle at the end of the year, but we decided to spend the remaining amount of the Lebaran bonus for it.


I asked my brother-in-law and his girlfriend to drive us to the nearest Carrefour megastore. When we arrived at the bicycle section in the store, Ara apparently had already had a plan of her own. She wanted to bring home a pink bicycle. With the help of a store attendant, Ara finally found the bike of her dream and refused to look at other options at the store. Now, Ara has a pink bike for her to ride every afternoon around the neighborhood. It was a present from us for being such a good girl and the wonderful moments we had during the holidays.

Kamis, November 15, 2007

On Being a Good Father

Ah … the wonders of the Internet, gue bisa dengan mudah mendapatkan jawaban dari hampir semua pertanyaan yang pernah muncul di kepala gue. Setelah menulis tentang hikayat terlahirnya Tiara ke dunia, gue mulai bertanya-tanya apakah gue bisa jadi ay ah y ang baik? Untuk itu gue coba cari-cari jawaban di Internet.

Keywords: Good Father. Search Results: How To Be a Good Father – WikiHow. (http://www.wikihow.com/Be-a-Good-Father). Oke … Gue sekarang dapet ilmu baru dari para editor di wikiHow tentang cara untuk menjadi ayah yang baik. Sekarang gue coba instropeksi sejauh man ague udah nerapin the dos and don’ts.


Langkah pertama:

· Have fun. Fatherhood is a big responsibility but it is also a lot of fun. Show your kids that you enjoy being their father.


Kayaknya gue udah sadar banget betapa gedenya tanggung jawab buat jadi seorang bapak dan betapa “fun”-nya punya anak. Kalo dulu gue bener-bener “have fun” dengan kehadiran keponakan-keponakan gue yang kalo ditotal ada 13 ekor .. eh … orang, sekarang ada satu anak yang lucu buat diajak maen setiap saat. Tapi privilege itu tentunya disertai dengan tanggung jawab. Duh … beda banget rasanya! Kalo dengan keponakan, gue cuma dapet enaknya doang dan semua tanggung jawab itu ada di pundak abang-abang dan kakak-kakak gue. Sekarang gue ngerasain sendiri apa yang pernah dirasain mereka. Gue rasa gue gak punya masalah untuk nunjukkin betapa gue enjoy punya putri yang cantik dan lucu. Gue dah punya pengalaman sebagai “paman yang baik dan benar”, jadi gue tinggal bikin penyesuaian aja pada peran yang gue emban sekarang. Jadi gue kasih “check mark” untuk yang ini.


Langkah kedua:


· Consider your role as a father. What do you believe should be a father's role in raising children? How did you grow up perceiving fatherhood? The notions you were brought up with will influence your approach to being a father. Some common perceptions of a father's role are:

· The father provides, financially and emotionally, for his children, and should care for them too.

· The father's role is to discipline along with the mother. Make parenting a partnership, be on the same page about how to discipline your child and be consistent.

· A father should give his children affection and warmth - Don't be afraid to tell your child "I love you, I'm proud of you."


Gue kayaknya digedein oleh bokap yang nanemin persepsi tentang “fatherhood” seperti yang ada di poin pertama. Babe bener-bener berusaha keras untuk memberikan kecukupan buat anak-anaknya, baik secara finansial maupun emosional. Dia gonta-ganti profesi, dari mulai buruh pabrik batik di Pedurenan, tukang jahit, tukang susu, peternak sapi (sambil jual susu tentunya), buka warung kelontong (trus beralih jadi warung nasi – langganan tokoh-tokoh PARFI dulu – trus ganti haluan jadi rumah makan khas Betawi) di Kuningan, sampe akhirnya kena gusur dan Babe akhirnya memilih buat balik lagi jadi tukang jahit, supaya gue dan anak-anaknya yang lain bisa makan dan sekolah dengan baik. Di sela-sela kesibukannya, Babe masih sempet ngelayanin keinginan anak-anaknya buat main. Segala macem mainan bisa dia bikin – temen-temen gue sampe ngiri dulu, karena mainan buatan Babe kadang lebih hebat dari mainan yang dibeliin bapak-bapak mereka. Soal disiplin, Babe juga rada ‘streng’. Kalo anak-anaknya udah kelewatan nakal, gak segen-segen Babe ngegebuk kita. Satu-satunya kekurangan Babe mungkin cuma soal “showing affection”. Babe mungkin tipe jawara Betawi yang pantang bilang “sayang”. Tapi, pernah juga sih gue liat die nangis waktu gue sakit keras dan untuk bawa gue ke rumah sakit, dia harus rela ngejual harta simpanan kebanggaannya, 3 hektar sawah di Karawang.


Jadi mengingat cara Babe ngegedein gue, gue rasa gue udah punya ketiga persepsi umum tentang “fatherhood” di atas. Dengan teladan yang dikasih Babe sepanjang umurnya, gue mungkin akan bisa memainkan peran gue sebagai ayahnya Ara dengan baik. Tentunya dengan perbaikan dalam bidang “showing affection”. Untungnya, Ara adalah anak yang sangat affectionate, yang bisa dengan tiba-tiba ngedatengin gue dan Tia cuma untuk meluk dan bilang “Ara sayaaaaaang deh sama ayah dan mama” hanya untuk pergi lagi kembali main dengan mbak-nya.


Langkah ketiga:


· Build on tradition. Consider your roles and responsibilities as a father. Ask yourself which are most meaningful and pursue them to the best of your ability.


Gue rasa langkah ketiga ini udah tercakup dalam refleksi gua di atas. Kalo gue diminta buat nentuin mana yang paling penting artinya bagi gue, jawaban gue tentunya adalah kebahagiaan lahir batin untuk anak gue pada hari ini dan di waktu yang akan datang, dan saat ini gue sedang berupaya sebaik-baiknya untuk ngewujudin itu semua.


Langkah keempat:


· Respect your children's mother. Mutual respect between a child's parents is important whether or not the parents are married to one another. Children will mimic their parents' behavior. How you treat your child's mother will influence the way in which the child will view his or her own role when they become parents. Do not be afraid to stand up for your own views as a parent. They are equally as important and valuable as those of the child's mother who may or may not spend more time with the child.


Gue punya kebiasaan yang mungkin aneh kalo diliat orang lain. Setiap bangun tidur di pagi hari, gue dan Ara akan dulu-duluan cium mamanya (gue gak pernah menang, karena kalo gue menang Ara akan nangis sejadi-jadinya … hehehehehe!). Gue dan Tia berusaha untuk selalu keliatan rukun dan saling menyayangi di depan Ara (That’s not hard because we do love each other! Kapan kita terakhir berantem ya, ma? Gue lupa). Mungkin ini yang bikin Ara jadi begitu affectionate, bahkan sama benda mati sekali pun hehehehe ….. (Sayaaaaaang Andrian! – Hey, that’s a bolster, honey …No! This is Andrian, ayah …)


Langkah kelima:


· Spend time with and take responsibility for your children. Some fathers miss opportunities to spend time with their kids because they have competing responsibilities or interests that may or may not benefit them. However, once the opportunity has passed, it's gone and you can't get it back. It goes so fast, so make the time the best that it can be. If you don't establish an intimacy with your children when they're young, it'll be difficult to catch up when they're older and still need your help and support.


Aduh! Langkah yang ini ngingetin gue sama lagunya ABBA yang dinyanyiin Agnetha, “Slipping Through My Fingers”. Jangan sampe aja ini kejadian sama gue. (http://www.youtube.com/watch?v=f-egAyrL8EE)


Untuk langkah-langkah berikutnya:


· Be a teacher by both word and example.

· Show affection.

· Realize that a father's job is never done.


Kayaknya udah ikutan disinggung di refleksi gue di atas. Mudah-mudahan dengan bekal ini, gue bisa jadi ayahnya Ara yang baik dan benar …. Amiiin!

Rabu, November 14, 2007

30 April 2004

Hari itu, Jum’at 30 April 2004, jam 3 pagi, Tia dengan panik ngebangunin gue. Ada air yang keluar dari selangkangannya, padahal waktu itu belum lagi genap 8 bulan dia hamil. Gue langsung samber hape dan dial nomor hape Bintari, sepupunya Tia yang kebetulan lagi ngambil spesialisasi Obstetri dan Ginekologi. Bintari bilang, ketuban Tia pecah. Gak mau ambil risiko, Bintari langsung ngajak Tia dan gue pergi ke RSIA Hermina Jatinegara.

Di Hermina, Tia langsung di-rush ke ruang bersalin sementara suster jaga sibuk nelponin Dokter Hasnah Siregar, dokter yang secara rutin meriksain bayi di perut Tia. Beberapa alat dipasang di perut Tia buat memonitor keadaan bayi di dalemnya. Beberapa kali suster mencet bel yang ditempelin di perut Tia setiap kali grafik di layar monitor menurun. Dari bagian administrasi gue dapet informasi bahwa Dokter Hasnah akan mengeluarkan bayi dari perut Tia lewat jalan operasi dan dijadwalin operasinya jam 10 pagi. Bagian administrasi lalu minta gue buat ngurus masalah keuangan.


Namanya orang panik, pasti ada aja yang ketinggalan. Gue gak bawa duit! Dan gue gak mungkin balik ke Billy&Moon karena yang ada di RS cuma mertua gue yang saking paniknya sampe harus menghirup Ventolin beberapa kali. Untung aja di dompet gue ada keselip satu kartu kredit, masalah selesai untuk sementara. Gue gak tau gimana gue bias ngelunasin semua biaya operasi sebelom operasi dimulai tanpa harus ninggalin rumah sakit. Tuhan emang ada ternyata karena kira-kira jam 8 pagi, hape gue bunyi dan ternyata boss gue yang nyambung nanyain kenapa gue gak ke kantor. Ini mungkin emang cara Tuhan buat nolong bayi di dalem perut Tia. Boss gue dengan senang hati mao dateng ke Hermina sambil bawain duit CASH supaya Tia bisa segera dioperasi. (Duit itu dihitung sebagai pinjaman dan gue cicil tiap bulan sampe lunas – no interest! Hehehehe … Makasih Bu!).


Tia akhirnya masuk ke ruang operasi setelah Dokter Hasnah, yang terlambat karena jalanan macet, akhirnya sampe di Hermina dan dokter ahli anastesinya selesai sholat Jum’at. Selesai operasi, gue dicariin dokter Hasnah. Kata mertua gue, nama gue beberapa kali dipanggil lewat speaker. (Gue lagi nenangin diri waktu itu, nyusurin jalan di depan rumah sakit sambil komat-kamit baca semua doa yang gue bisa). Ternyata menurut dokter Hasnah, penyebab pecahnya ketuban Tia adalah myoma. Beliau kasih unjuk irisan myoma yang diangkat dari rahim Tia. (Maaan, that was big!) Sedihnya lagi, itu berarti gue harus kena charge tambahan untuk pengangkatan myoma itu (Gak ngerti gue … Lha kan perut dan rahim Tia juga sedang diedel-edel buat ngeluarin bayi, kok mereka nge-charge separuh biaya operasi CS untuk itu).


Kalo ada hal yang gue seselin pada hari itu adalah bahwa gue gak bisa ngelantunin azan dan iqamat dengan sempurna ke kuping bayi gue, karena dia harus buru-buru dimasukin ke dalam inkubator. Berat bayi perempuan yang dikeluarin dari perut Tia cuma 1,7 kg. Itu pun langsung drop sampe 1.6 kg setelah hari pertama di inkubator. Gak kerasa air mata gue jatuh juga ngeliat bayi itu ditusuk-tusuk jarum di kaki kanan, monitor jantung di kaki kiri, serta selang oksigen dan selang susu di hidung. Gue langsung pergi dari ruang Perinatalogi tempat bayi gue dirawat buat nengokin Tia di ruang recovery. Di sana gue ngeliat pemandangan yang gak kalah “serem”. Tia gak juga sadar dan bibirnya udah biru. Tia emang punya masalah dengan tekanan darah, jadi efek anastesinya lebih lama hilangnya.


That’s it! Gue akhirnya gak tahan juga … Dalam satu hari, bisa jadi gue kehilangan dua mahluk yang paling gue sayangin di dunia ini, bayi gue dan ibunya. Gue lari ke musholla di dalam gedung Hermina. Selesai sholat Maghrib, gue berdoa sekhuysuk-khusyuknya kepada Allah SWT minta supaya mereka diselamatin. Ada hal aneh malam itu yang terjadi sama diri gue. Ketika gue lagi terisak-isak numpahin semua beban emosi, gue dikagetin oleh kehadiran seorang bocah perempuan berumur 2 tahunan. Bocah itu tanpa ragu-ragu ngajak gue bercanda dan maen ciluk-ba pake gorden pemisah yang ada di musholla itu. Mau gak mau gue, dengan mata sembab, akhirnya tersenyum ngeladenin bocah cantik itu. Gak lama setelah gue berhasil nguasain diri, bocah itu pergi menghampiri seorang laki-laki. Gue kelarin doa gue dan langsung keluar mencari bocah perempuan itu dan (mungkin) bapaknya. Maksudnya sih cuma mau bilang terima kasih. Tapi gue gak pernah berhasil nemuin mereka, padahal gue yakin sela waktu antara mereka pergi dari musholla dan gue keluar mencari mereka gak lebih dari satu menit.


Setelah kejadian itu gue jadi agak tenang buat ngejalanin semua yang harus gue jalanin. Tia baru bisa ngeliat bayi yang dikeluarin dari perutnya pada hari ketiga dia di rumah sakit. Kita berdua hanya bisa sedih setiap kali ibu yang tidur satu kamar dengan Tia didatengin oleh suster yang membawa bayinya untuk disusuin, sementara bayi kami berdua gak boleh dibawa kemana-mana. Kami pulang ke rumah pun tanpa bayi kami. Dokter Idham yang ngerawat bayi itu bilang anak kami baru boleh keluar kalau beratnya sudah mencapai minimal 2 kg.


Selama seminggu kami bolak-balik ke Hermina buat nganterin ASI. Itu pun kami hanya bisa ngeliat bayi kami untuk beberapa puluh menit aja. Karena alasan biaya, kami memindahkan bayi kami RSB Asih atas saran tantenya Tia, Dr. Rulina Suradi. Biaya perawatan di ruang Perinatalogi Hermina saat itu mencapai 1 juta per hari, sedang di RSB Asih kami hanya membayar 10%-nya saja (berkah KKN … Hehehehe …). Setiap malam sebelum tidur, gue dan Tia selalu berdoa demi kesehatan anak kami. Beberapa hari pertama, gue bahkan gak pernah bisa kelar baca surah Yaasin untuk dia, karena selalu aja gue jadi nangis tersedu-sedu mengingat bahwa anak kami terpisah jauh dari kami berdua, sendirian di dalam inkubator. Namun setelah menunggu selama satu bulan, akhirnya kami bisa menggendong bayi kami pulang ke rumah.


The amazing thing is that bayi yang kami beri nama Tiara Haliza Alfarani itu tumbuh sehat dan ketika dia berumur 2 tahun, Tiara bagaikan jelmaan bocah perempuan cantik yang ngajak gue bercanda di musholla RSIA Hermina ketika gue lagi menangis tersedu-sedu mengharap belas kasihan Allah SWT untuk anak dan istri gue. Ya, Dia emang Dzat yang maha pengasih dan penyayang. Here she is ...