Selasa, Juli 22, 2008

Minggu Pertama Ara Bersekolah


Senin, 14 Juli 2008, jam 05.30 pagi, Ara sudah bangun dan siap untuk mandi. Dia sangat antusias karena itu adalah hari pertama Ara mulai bersekolah di Embun Pagi International Islamic School. Selesai mandi dan sarapan, Ara pun memakai seragam barunya dan sibuk memilih sepatu dan kaus kaki mana yang mau dipakai. Jam tujuh pagi lewat dikit, Ara sudah siap untuk berangkat ke sekolah dengan menggendong tas seragam dari sekolahnya.

Sesampai di sekolah, guru-guru Embun Pagi menyambut kami dan meminta kami untuk nama Ara di daftar yang sudah mereka siapkan. Ternyata Ara ada di kelas K1B (Kindergarten 1 B). Kami pun diantar ke kelas untuk K1B. Ternyata, Ara adalah anak pertama yang hadir di kelas. Sambil menunggu, Ara berkenalan dengan guru kelasnya (Ms. Balqis dan Ms. Sari, the school principal, yang menggantikan Ms. Meilan yang lagi cuti melahirkan) dan diajak bermain puzzle. Yes, they got her there! Ara emang tergila-gila pada puzzle. Perkenalan pun berjalan lancar tanpa derai air mata, kayak anak-anak yang lain (Ara bahkan sempat kasih isyarat telunjuk di depan bibir waktu mamanya manggil dia dari luar kelas, “Jangan berisik, dong” … Hahahaha … Lalu wave her mother goodbye waktu pintu kelas akan ditutup). Satu per satu anak-anak lain hadir di kelas. Dan sejak hari pertama itu, Ara punya sahabat baru, namanya Alishia, dan mereka pun langsung akrab bermain bersama sepanjang hari itu. Waktu dia pulang, kita tanyain apa aja yang dipelajarin selama di sekolah. Dengan enteng dia jawab, “Gak tau … Miss-nya pake bahasa inggris sih …”

Hari kedua, mamanya Ara sudah mulai mempersiapkan Ara untuk langsung dilepas sendiri begitu sampai di gerbang sekolah. Sebelumnya orangtua murid dikasih tau bahwa mereka hanya mengizinkan orang tua untuk menunggui anak-anaknya pada hari pertama aja. Ara sempet nengok sebentar ke arah mamanya waktu digandeng gurunya ke kelas. Tia gak sampe hati dan akhirnya minta izin ke principal untuk sekadar ngintip keadaan Ara di kelas, kalo-kalo dia nangis ato gimana. Eh, ternyata … Di kelas Ara udah asyik dengan dunia barunya dan dengan santai kasih tangan ke mamanya waving her goodbye. Dengan hati yang dikuat-kuatin, Tia pulang untuk kembali lagi menjemput Ara sebelum jam 11. Waktu bubaran, Ara yang spotted mamanya dan memanggil mamanya dari kejauhan, gak kayak anak lain yang malah nangis begitu ngeliat mamanya. (Lucunya … Ara malah sempet negor salah satu temennya, “Mewek terus, mewek terus … Jangan nangis melulu, dong …” Hahahahahaha ….)

Pada hari ketiga, Ara sempet panas, mungkin karena ketularan flu dari temen-temen sekelasnya. Maklum, ruang kelas semua ber-AC, sehingga semua anak akan mudah tular-tularan virus flu. Untuk itu, kita kasih Ara Stimuno (bukan maksud iklan, lho …) buat nambah daya tahan tubuhnya sambil kita kasih juga obat pilek. Tia dan neneknya Ara sempet berfikir untuk gak kasih Ara ke sekolah, tapi gue yang gak tega karena keliatannya Ara enjoy banget bersekolah. Karena pagi harinya panasnya udah terkendali, Ara pun dianter mamanya ke sekolah. Di hari-hari berikutnya, Ara keliatan semakin asyik dengan dunia barunya. Kalo ditanya tentang sekolahnya, dia gak lagi bilang gak tau. Dengan ceria dia kasih ulasan singkat tentang apa aja yang dia lakuin selama di sekolah.

Hari Sabtu lalu, gue dan Tia dateng memenuhi undangan Embun Pagi untuk hadir dalam Teachers & Parents Conference pertama untuk tahun ajaran ini. Harusnya sih, kita berdua ngederin penjelasan pihak yayasan dan manajemen sekolah tentang berbagai aturan dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan di Embun Pagi, termasuk perubahan sistem pengajaran dari model klasikal menjadi model sentral (Embun Pagi membagi kelas-kelasnya menjadi beberapa sentra pengajaran untuk satu subjek tertentu. Mirip kuliah deh di mana setiap ganti subjek, anak-anak digiring ke kelas berikutnya). Yang ada, cuma Tia yang bisa duduk manis di antara orang tua lainnya, karena Ara terus-terusan mint ague nemenin dia main di playground sekolah, terutama setelah Alishia dan orang tuanya pulang duluan sebelum acara kelar. Untunya, Ms. Sari udah nyiapin Parents’ Handbook yang bisa gue baca setelah kita pulang.

Minggu ini, Ara mulai sekolah dengan mode penuh, dalam artian sekolah mulai jam 7.30 pagi dan bubar jam 13.00 siang. Kita baru ngeh kalo ternyata hal ini menimbulkan satu masalah baru. Ara mirip banget sama mamanya dalam hal jadwal kegiatan sehari-hari. Berhubung dia baru sampe rumah lewat jam 1 siang, jam tidur siangnya jadi bergeser. Sepulang sekolah, Ara masih harus nyelesaiin makan siangnya, karena dia gak pernah kelar makan siang di sekolah. Walhasil, begitu kelar makan siang, Ara udah kelewat ngantuk bahkan buat sikat gigi dan pipis sebelum naik ke tempat tidur. Udah untung kalo dia gak sampe jadi error dan ngambek karena kelewat capek.

Mudah-mudahan, dengan berjalannya waktu, Ara serta gue dan Tia bisa nyesuain diri. Gue udah mulai terbiasa bangun pagi-pagi buat nyiapin keperluan Ara sementara Tia ngebujukin dia untuk bangun (karena kalo sampe banguninnya salah, Ara bisa error mood-nya sepanjang hari …). Tia mulai terbiasa pulang-pergi naik ojeknya si Komar nganterin dan ngejemput Ara, sementara dia juga harus tetep ngerjain tugas-tugasnya sebagai editor. Tinggal gimana caranya kita berdua ngebiasain Ara buat bangun dan sarapan pagi-pagi (berhubung waktu sarapannya juga kudu digeser) dan makan siang sebelum dia bisa tidur siang.

Rabu, Juli 16, 2008

The Client

Judul cerita gue kali ini mungkin mengingatkan orang sama novel John Grisham. Tapi, yang mao gue bagi dalam cerita ini adalah pengalaman gue menghadapi seorang klien.

Sejak Bulan Februari lalu, secara rutin seminggu sekali gue harus datang ke salah satu Pengadilan Negeri di Jakarta untuk mendampingi seorang WN Amerika yang terlibat kasus pidana. Resminya, klien gue adalah Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Tapi di lapangan, orang akan melihat bahwa yang menjadi klien gue adalah si terdakwa. Bagaimana enggak, setiap minggu para pegawai pengadilan, dari tukang sapu sampe Ketua PN ngeliat gue duduk berdua berjam-jam menunggu sidang dimulai (resminya jadwal untuk kasus yang gue tanganin adalah jam 10, tapi sidang biasanya baru dimulai sesaat sebelum azan Zuhur di mushola pengadilan berkumandang).

“Klien” gue kali ini agak unik, kalo gue gak mao gue bilang “ajaib”. Dalam masa-masa penantian jadwal sidang yang gak pernah pasti di ruang tunggu PN Jaksel, gak bosen-bosen dia ngeyakinin gue betapa dia gak bersalah dan bahwa this case is a crap (Itu “bahasa” dia … Duh, dah ketularan para “lo-yer’ nih gue pake kata “bahasa”…. Hehehehe …). Sayang gue terikat sumpah setia penerjemah, jadi gue gak bisa cerita tentang materi kasusnya. Tapi bukan itu yang pengen gue ceritain.

Beberapa hari yang lalu, pengacara “klien” gue itu nanya ke gue soal tandatangan gue di BAP yang dibikin polisi. Emang sih, pada bulan Desember gue pernah diminta polisi buat jadi juru bahasa ketika mereka menginterogasi “klien” gue ini. Entah ini strategi dari pengacaranya ato gimana, gue nangkep indikasi bahwa si “klien” ini mao ngebantah semua keterangan dia di BAP pada saat dia ditanya-tanya majelis hakim sesuai dengan agenda sidang (setelah majelis mendengar keterang saksi-saksi). Akan tetapi, dia gak akan gampang ngelakuinnya karena ada tanda tangan gue di BAP itu. Gue sempet agak panik karena implikasinya kalo sampe dia cabut keterangannya di BAP adalah sangkaan konspirasi antara gue dan polisi untuk memalsukan BAP. Berat kan? Gue hubungin seorang kawan yang jadi pengacara di sebuah firma hukum gede. Setelah mendapat kepastian dari pengacara itu, gue jadi tenang dan siap buat ngadepin semua kemungkinan. Untung aja, pas hari H-nya, “klien” gue ini rada jiper buat nerapin strategi akal bulusnya dan gue terhindar dari masalah.

Dalam pelaksanaan tugas juga gue selalu kesulitan. Beberapa kali gue ditegor hakim ketua karena dia ngeliat gue gak nerjemahin interaksi antara majelis dengan saksi-saksi. Gue mungkin kelihatan tenang-tenang aja di meja penasihat hukum terdakwa, tapi itu karena “klien” gue sibuk sendiri dengan urusannya. Kalo gak bongkar-bongkar ranselnya untuk ngambil dokumen, dia asyik kirim-kirim SMS, ato colak-colek pengacaranya buat nyuruh interupsi. Satu kali, hakim ketua sempet muntab karena dia lihat sendiri “klien” gue ini dengan santainya menyibukkan diri dengan nyopot sepatu trus sibuk benerin sepatunya tanpa memperhatikan apa yang sedang terjadi di persidangan. Gue dan pengacara “klien” gue ini kena damprat juga.

Setelah kejadian itu, gue marah-marah sama “klien” gue itu. Malu banget gue kena omelan hakim ketua karena ulahnya. Bayangin aja, begitu selesai pemeriksaan saksi, hakim ketua nanya gimana pendapatnya tentang kesaksaian yang diberikan, eh dengan santai dia bilang “Sorry, I don’t understand ….” Gubrak !!! Lha, mulut gue sampe berbuih-buih nerjemahin omongan saksi dan pertanyaan-pertanyan dari hakim, jaksa dan pembela, dia malah bilang gak mudeng. Yang lebih bikin gue tambah nyolot adalah pernyataan dia ketika gue bilang ke dia jangan kayak minggu lalu. Komentarnya singkat, tapi nyelekit banget: “Sorry, Jamil … I need to pull some tricks sometimes …” HALAH !!!

Puncak dari semua penderitaan gue adalah hari ini. Believe it or not … I have been summoned by the police !! Ternyata “klien” gue itu ngaduin seorang saksi ke polisi dengan sangkaan pemberian keterangan palsu di bawah sumpah dalam persidangan. Karena gue selalu hadir di persidangan, jadilah gue diminta dateng ke Polda Metro buat di-BAP sebagai saksi. Baru kali ini gue dateng ke markas polisi rada gemeter, karena posisi gue adalah posisi yang biasanya “dijabat” oleh klien-klien gue. Untung deh semua berjalan lancar di sana. Itung-itung pengalaman baru buat gue … Hehehehe !!