Rabu, Januari 16, 2008

Should I Die Before I Wake

Kali ini catatan gue gak ada hubungannya dengan Ara ato Tia. Kali ini bener-bener unek-unek gue tentang hal yang paling serius di dunia: mati. (bukan berarti gue udah kepengen mati …)

Beberapa hari belakangan ini, semua stasiun TV, semua Koran dan semua situs berita di Internet cuma punya satu topik yang seragam: Soeharto sekarat! Gue gak mau ngomong soal kasus korupsi Soeharto dan sanak keluarganya atau kasus pelanggaran HAM yang dituduhkan atas diri Soeharto atau keberhasilan pembangunan di masa pemerintahan Soeharto atau bahkan tindakan medis apa yang patut dilakukan pada diri Soeharto. Biar TV, koran dan situs berita aja yang ngomongin itu.

Terus terang gue ngeri sekaligus prihatin ngebayangin apa yang sedang terjadi atas diri Soeharto. Keluarga dan dokter-dokter di RSPP kayaknya gak rela kalo Soeharto mati. Segala macam alat dipasang di tubuh Soeharto yang renta, mulai dari alat buat ngegantiin paru-paru, ginjal sampe jantungnya. Berbagai macam jarum ditusukin buat masukin cairan infus dan transfusi darah, selain jarum-jarum buat ngeluarin kelebihan cairan dari badannya. Tujuannya cuma satu: Soeharto gak boleh mati!

Buat anak cucunya, kematian Soeharto mungkin bisa jadi awal bencana buat mereka, karena setelah itu mereka gak lagi punya dewa pelindung dari segala macam kemungkinan proses hukum atas diri mereka. Kalo gue jadi mereka, gue gak bakalan kuatir sedetik pun. Bagaimana pun, apa yang dilakukan Soeharto punya implikasi pada semua bekas jenderal dan menterinya dan mereka pasti gak ada yang mau masuk penjara atau jatoh melarat gara-gara harta mereka disita negara. Gue datengin mereka satu-satu dan bilang ke kuping mereka yang udah mulai budge, “If we go down, you will go down with us”. Aman!

Yang senewen kalo sampe Soeharto mati mungkin adalah tim dokter kepresidenan yang, IMO, tingkahnya udah kelewatan. Mereka sepertinya berusaha melawan kekuatan Tuhan yang kepengen mencabut nyawa Soeharto. Hari demi hari perjuangan mereka semakin jelas arahnya: GAGAL! Siapa mereka hendak melawan maut? Mereka bahkan dengan sombongnya memberikan konferensi pers secara rutin dengan mengundang ratusan wartawan media eletronik dan cetak. Setau gue, apa yang terjadi di ruang pemeriksaan dokter bersifat rahasia dan gak boleh diumbar ke publik tanpa persetujuan orang yang bersangkutan. Lha ini kok diumbar seenak berok, padahal orang yang bersangkutan lagi megap-megap ketakutan ngeliat malaikat maut. Gue ketawa ngedenger komentar seorang dokter tentang kelakuan dokter-dokter kepresidenan itu: They are merely doing SOMETHING (as opposed to doing EVERYTHING) … Plisss, deh! Mungkin mereka pikir seluruh rakyat kudu tau bahwa mereka sudah melakukan sesuatu buat nolong Soeharto (maksudnya: bukan cuma bengong, karena emang gak ada lagi yang bisa dilakuin buat nyelametin Soeharto).

Kematian emang udah menjadi ketentuan Allah. Setiap yang bernafas pasti mati, begitu kata Allah dalam Al Qur’an. Ini bukan berarti gue against semua upaya pengobatan untuk menyembuhkan penyakit, tapi gue pikir kita juga harus sadar sampe batas mana ikhtiar pengobatan harus dilakukan. Kalau memang seseorang yang karena penyakitnya harus mati, kenapa harus melakukan segala cara hanya untuk menunda kematiannya? Apakah orang yang ditempelin segala macam alat itu hidup seperti sediakala? Menempatkan orang pada kondisi yang gak jelas antara hidup dan mati, bagi gue merupakan kezaliman.

Gue jadi inget sama satu do’a gue soal kematian: kalo emang gue udah waktunya mati, gue gak mau keluarga gue jadi repot dan sedih. Gue kepengen mati dengan cara yang tenang dan damai dengan sakratul maut yang gak berkepanjangan.

Now I lay me down to sleep;

I pray the Lord my soul to keep.

If I should die before I wake,

I pray the Lord my soul to take …

Amin …

Selasa, Januari 08, 2008

Liburan Panjang Akhir Tahun 2007

Akhir tahun 2007 lalu agak istimewa karena liburan akhir tahun menjadi agak lebih panjang. Ini karena sebelum Natal, ada hari raya Idul Adha. Jadilah kita mengikuti kebiasaan baru para PNS untuk memanjang-manjangkan liburan. Harusnya liburan yang ekstra panjang itu menjadi ajang rekreasi. Namun apa mau dikata, hari terakhir di kantor, gue dan kawan-kawan senasib sepenanggungan harus berlama-lama di kantor dan pulang dengan berbekal pekerjaan yang harus kami kerjakan selama liburan di rumah.

Hari pertama liburan gue adalah hari raya Idul Adha. Karena kecapean lembur di kantor dan kejebak macet sepanjang jalan pulang, gue kesiangan bangun dan gak bisa ikutan solat Ied. Setelah kira-kira semua orang udah pulang dari mesjid, gue siap-siap untuk berangkat ke rumah nyokap di Menteng Dalam. Ara dan mamanya berbagi kebiasaan yang sama dalam urusan traveling naik mobil (terutama sedan): mabuk darat. Jadilah separuh perjalanan itu, Ara menumpahkan kembali segelas besar jus pepaya dari dalam lambungnya.

Sesampai di rumah nyokap Ara begitu ceria bertemu dengan sepupu-sepupunya dan penghuni rumah nyokap kesayangannya: Bopan, kucing putih lucu yang sudah diangkat rahimnya oleh Kaka (sepupu Ara yang paling tua yang baru aja lulus jadi dokter hewan). Tradisi hari raya Idul Adha di rumah nyokap, dan di rumah-rumah lain di seantero kampung betawi itu, adalah bakar sate. Seharian itu, gue dan keponakan-keponakan gue, gonta-ganti bakar sate sapi (karena Giant gak jual daging kambing dan kambing yang dipotong di mesjid belom juga kelar dibersihin), sate sosis dan ikan mas (dapet beli dari pemancingan yang gak jauh dari rumah nyokap). Hari raya itu benar-benar meriah, seperti biasanya.

Agenda liburan gue berikutnya adalah pergi beli sepatu di Pasaraya Blok M. Rencana beli sepatu ini sebenernya udah dirancang dari setahun sebelumnya. Jadilah hari Sabtu itu gue dan Tia berangkat ke Blok M. Hari itu kita mengistirahatkan Supra X 125 gue, tapi gak juga ngebangunin sedan yang lebih banyak bertapa di garasi untuk menyusuri jalan. Gue dan Tia keluar kompleks jalan kaki, ngacungin tangan buat minta Mikrolet M-26 berhenti dan menikmati perjalanan sampe ke Kampung Melayu. Di Kampung Melayu, gue sempat kepikir buat nyoba naik Busway, tapi pikiran itu akhirnya kalah dengan ide lain: napak tilas masa-masa pacaran dulu. Maka, kami pun berjalan keluar dari terminal Kampung Melayu dan naik Mikrolet M-44 sampe Karet. Dari situ baru kita memanjakan diri dengan memberhentikan taksi dan minta dianter sampe depan pintu Pasaraya Blok M.

Sebenernya, selain membeli sepatu, gue dan Tia punya agenda tambahan yang gak kalah menarik selama kunjungan kita ke Blok M. Udah lama kita gak ketemu dengan seorang sahabat, Sovyana Putranti Setyoko yang bahenol, dan hari itu dia berjanji untuk ketemu kami di situ. Bukan Wiwien namanya kalo gak jam karet (gue kirain hidup lama di luar negeri bisa ngelunturin sifat jelek orang Jawa dari dirinya, ternyata …). Setelah gue dapet dua pasang sepatu (bukan satu seperti rencana awal), barulah sahabat kami berdua itu dateng. Wiwien minta ditemenin milih-milih tas kerja baru buat persiapan “tour of duty” dia keliling ASEAN mulai awal tahun ini. Butuh waktu agak lama ngubek-ngubek Pasaraya sampe akhirnya kita nemu tas yang pas buat dia. Pertemuan kami ditutup dengan acara makan siang kesorean bersama di food court (kita gak bisa kemana-mana gara-gara hujan) dengan menu utama: kicauan merdu sahabat kami ini. Kalau saja gue dan Tia belum punya anak, mungkin kita akan menghabiskan hari itu terus bersama Wiwien. Namun bayangan anak cantik itu memaksa kami mohon diri untuk segera pulang. Gue lagi nunggu undangan traktiran dari sahabat bahenol gue ini yang baru aja genap xx tahun awal bulan ini (tuh … gue gak bocorin ke siapa-siapa kan, honpanjang umur dan CEPETAN KAWIN !!!)

Gue gak punya acara laen setelah agenda membeli sepatu itu. Hari-hari berikutnya gue habisin buat ngerjain “PR” dari kantor yang gue bawa pulang sebelom liburan. Untungnya, gue punya dua orang gadis cantik yang selalu ngisi saat-saat gue berada di rumah: Tia dan Tiara. Rasa sebel karena harus bekerja di saat liburan langsung sirna setiap kali gue ngeliat muka mereka.

Sehari setelah libur Natal gue sempetin buat keliling bareng Tia pake Supra X 125 gue ke beberapa tempat calon sekolah buat Ara. Tempat pertama adalah TK dan SD Islam Internasional Embun Pagi di Jalan Kalimalang. Karena gue liat guru dan stafnya adalah perempuan-perempuan berjilbab yang masih berkenan make celana panjang, gue mutusin buat sekalian aja beli formulir pendaftaran dan saat itu juga gue isi dan balikin. Setelah itu gue ajak Tia nengok sebuah TK di Jalan Radin Inten, namanya TK Bunga Amalia. Sayang sekolah itu masih liburan, jadi kita cuma bisa ngelihat sebuah gedung megah yang gerbangnya digembok. Dua TK lain yang mau kita datengin juga masih libur, bahkan salah satunya keliatannya udah gak beroperasi lagi (padahal kita sempat terpesona sama brosur mereka). Jadilah kami pulang dengan hanya satu formulir pendaftaran di tangan.

Hari berikutnya kami bangunin Ara pagi-pagi dan memintanya segera mandi dan sarapan. Hari itu kami pergi ke Atlantis Ancol untuk bermain air bersama Ara. Ini adalah kali kedua Ara ke Atlantis. Pada kunjungan pertama dulu, Ara sempat mogok gak mau turun ke air, tapi setelah melihat betapa asyiknya kami berdua main air, akhirnya dia pun mau bergabung. Pada kunjungan kedua kali itu, Ara langsung minta ditemenin main di Kiddies pool. Semua permainan yang ada di sana dia coba. Walau raut mukanya tegang ketika meluncur turun di perosotan, dia langsung ngacir buat naik lagi dan mencoba merosot sendiri, berulang-ulang. Sukur aja saat itu kolamnya gak terlalu rame, jadi serasa milik pribadi aja.

Puas berenang, kami mengajak Ara berkunjung ke Seaworld. Priceless banget deh ngeliat bagaimana Ara begitu terpesona melihat mahluk-mahluk laut yang luar biasa besarnya. Ara semangat sekali buat mencoba membelai penyu laut, gak keliatan ada rasa takutnya. Namun, namanya juga anak kecil, tingkahnya kadang-kadang rada nyeleneh. Alih-alih takzim memandangi ikan duyung yang besarnya tiga kali lipet gedenya Ara, dia malah asyik memperhatiin ikan kecil yang entah kenapa ikut menghuni kolam khusus untuk ikan duyung itu. Waktu kita berdiri di ban berjalan sepanjang terowongan di kolong akuarium raksasa, bukan ikan pari raksasa yang menarik perhatian Ara, tapi blower AC yang meniupkan angin dingin ke kakinya. (Nak, ayah bayar mahal buat ke sini bukan buat lihat blower AC !!)

Hari itu kita senang bukan alang kepalang melihat Ara menikmati hari sampe dia kecapean. Dia bahkan gak sanggup lagi buat berlama-lama di Seaworld, karena dia begitu lelah. Begitu masuk ke mobil untuk berangkat pulang, Ara langsung minta dot susu dan sapu tangan penutup matanya. Tak lama kemudian Ara pun melayang ke alam mimpi, kecapean … Kami pun puas karena bisa memberi hari yang indah buat Ara hari itu.

Gue masih punya satu agenda lagi buat liburan kali ini. Gue janji buat ajak Tia makan di restoran Jepang. Maka hari itu dengan motor Supra X 125 kesayangan gue, kami pun berangkat ke Metropolitan Mall Bekasi. Tempat pertama yang kami singgahi adalah toko buku Gramedia dan baru keluar dari sana setelah kasir mendebet tabungan kami sebagai pengganti untuk 3 buku serial Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, novel petualangan Rahasia Meede dan roman religius Ayat-ayat Cinta (meskipun Tia udah lama tamat baca roman itu ketika masih jadi cerbung di Republika). Puas belanja buku (lebih tepatnya dipuas-puasin, karena ada beberapa judul yang terpaksa gak jadi kami boyong pulang) kami pergi ke restoran Jepang yang udah belasan tahun gak dikunjungin Tia. Kami makan sepuas-puasnya di sana, dan pulang dengan senyum di wajah dan perut kekenyangan.

Sisa hari liburan gue habisin buat baca novel Laskar Pelangi (kalo gue gak disuruh slowdown sama Tia, mungkin sekarang gue udah kelar baca buku ketiga, Edensor). Emang bener buku itu pas banget dikasih gelar The Most Powerful Book in Indonesia .. Bagus banget !! Ada untungnya juga gue belom kelar baca Edensor. Paling gak sekarang gue ada selingan buat ngilangin jutek karena disuruh ngebut kerja setelah liburan panjang …

Liburan gue tutup dengan kegiatan unik di malam tahun baru. Setengah jam menjelang pergantian tahun, hujan agak mereda. Gue keluarin motor dari garasi dan dengan didampingi Tia di boncengan, kita menyusuri jalan, menerjang gerimis. Hasilnya: kami bisa menyaksikan pesta kembang api yang disulut orang-orang di sepanjang jalan. Indah banget … Dingin dan basah karena gerimis malah membuat suasana menjadi semakin syahdu. ‘Met tahun baru semua !!