Dalam kehidupan gue sebagai orangtua ada satu fase yang begitu menyedihkan karena gue harus melakukan sesuatu yang sangat gue benci dan sekaligus sangat menyakitkan bagi Ara. Mungkin karena proses kelahirannya yang istimewa, tubuh Tia tidak dapat memproduksi ASI sebanyak yang diperlukan oleh Ara. Segala cara yang dinasihatkan kami coba semuanya (gue bahkan jadi lebih ahli dalam hal pijat payudara dari sebelumnya … hehehehe), namun hasilnya tetap aja kurang memuaskan. Sebagai akibatnya, Ara menjadi sangat bergantung pada susu formula. (Don’t be sad, honey … you are not to blame …)
Dengan susu formula, pertumbuhan Ara memang begitu pesat. Dalam waktu singkat, Ara menjadi begitu montok dengan berat badan yang bertambah secara stabil, sehingga sulit dipercaya bahwa Ara dulu lahir hanya dengan bobot badan 1,7 kg. Ketika masih bayi, Atas rekomendasi Oma dokternya, Ara kita kasih susu tambahan. (Halah! Itu susu susah banget dapetnya. Kita harus pergi ke Carrefour di Kuningan untuk bisa dapetin itu susu. Jadi sekali beli, kita bisa bawa pulang berkaleng-kaleng supaya gak bolak-balik) Setelah itu, kami mengganti susu Ara dengan merek yang lebih gampang dicari. Cukup lama kami menjadi pelanggan susu itu, Ara sampe dapet sebuah meja plastik kecil lucu dari hasil nukerin sendok susunya.
Akan tetapi, susu formula ternyata juga membawa petaka bagi Ara. Konsumsi susu formula membuat Ara jadi susah buang air besar alias konstipasi. Meskipun hal ini merupakan hal yang lazim bagi anak yang minum susu formula, tapi kalau melihat sendiri bagaimana menderitanya Ara setiap kali buang air besar, segala macam teori tentang hal itu tidak lagi berpengaruh. Sebagai jalan keluar Oma dokternya Ara menyarankan penggunaan Microlax. Obat ini bekerja sebagai perangsang kerja usus untuk mengeluarkan feses sekaligus pelumas agar feses dapat keluar dengan mudah. Masalahnya, obat ini diaplikasikan lewat anus. Gue dan Tia harus memasukkan bagian nozzle dari tabung obat ini ke pantat Ara dan memencet kuat-kuat tabungnya agar obatnya masuk ke ususnya untuk kemudian do the magic. Tak sampai lima menit setelah diaplikasikan, Ara akan dengan sendirinya mengejan untuk mengeluarkan feses dari perutnya.
Meskipun kami memberikan Microlax hanya apabila Ara tidak buang air besar sendiri dalam jangka waktu EMPAT hari berturut-turut (menurut teorinya sih, kalo kita tidak b.a.b. selama 4 hari, kotoran yang tertahan di dalam perut akan meracuni tubuh kita), nampaknya, apa yang kami lakukan ini memiliki dampak psikologis pada Ara. Kami harus berjuang keras untuk memberinya Microlax. Ara selalu menangis sambil meronta-ronta setiap kali kami harus melakukannya. Meskipun air mata berlinang dan hati yang teriris-iris, kami tak punya pilihan lain untuk membantu Ara selain Microlax. Yang membuat hati kami hancur adalah setelah beberapa lama kami berikan Microlax, Ara tidak lagi meronta, dia hanya menangis lirih memohon agar kami tidak melakukannya.
Berulang kali kami mencoba untuk melakukan hal-hal yang disarankan kawan dan saudara untuk mengatasi konstipasi itu. Mulai dari mencoba memberinya buah sampai supplement serat yang lumayan mahal harganya, yang kesemuanya ternyata gak berhasil. Ada yang menyarankan kami untuk memberinya banyak air putih, tapi saat itu Ara sepertinya tidak punya masalah dengan asupan air. Dia minum kayak ikan mas koki! Bahkan lebih banyak dari orang dewasa.
Karena konstipasi itu, Ara menjadi kurang nafsu makan. Kami coba untuk membuat menunya bervariasi. Havermut juga kami beri untuk mengganti nasi. Di tengah keputusasaan kami, gue dapat info dari kakak gue tentang seorang dokter yang biasa nanganin anak yang susah makan. Info itu dia peroleh dari salah seorang temannya yang punya anak yang juga susah makan (tapi penyebabnya mungkin beda dari Ara). Dokter tersebut tinggal gak jauh dari RS Budi Asih. Karena merasa gak ada ruginya, akhirnya kami nekat untuk mencobanya. Di sana, kami bertemu dengan beberapa orang tua muda seperti kami yang memberikan testimony tentang kemanjuran obat dari dokter ini. Kami pulang dari tempat praktek dokter itu dengan membawa sekantung vitamin penambah nafsu makan. Atas saran oomnya Tia yang juga dokter di Surabaya, kami hanya memberi vitamin 2 kali sehari, bukan 3 kali seperti yang disuruh oleh ibu dokter itu.
Alhasil, nafsu makan Ara benar-benar berubah. Dia tidak lagi menolak makanan yang kami berikan. Dia juga tidak lagi menolak untuk minum jus papaya (yang sudah kami modifikasi sedemikian rupa dengan menambahkan sirup secukupnya). Asupan serat buah dan sayuran pun akhirnya jauh lebih mudah masuk ke perut Ara. Frekuensi pemakaian Microlax juga semakin menurun meskipun belum sepenuhnya berhenti. Entah ilham dari mana, tiba-tiba kami menyadari bahwa dari semua hal yang sudah kami lakukan, hanya ada satu yang tetap tidak berubah: SUSU FORMULANYA! Ya … Ara memang sudah kami beri supplement serat, havermut dan buah, tapi susunya gak pernah kami ganti. Kami pun mengambil keputusan drastis untuk mengganti susu Ara dengan merek susu lain yang bukan susu formula.
Pada awalnya kami sempat kecewa karena setelah beberapa hari mengkonsumsi susu baru non-formula, Ara masih saja sulit buang air besar. Namun, segala sesuatu kan pasti ada prosesnya. Kami hanya perlu memberi Ara Microlax satu kali lagi. Setelah itu, ALHAMDULILLAH masalah konstipasi Ara terselesaikan. Ara juga tidak lama minum vitamin dari dokter yang gue maksud di atas. Setelah kami rasa Ara sudah terbiasa dengan pola makan yang kami terapkan, kami pun menghentikan pemberian vitamin itu meski itu berarti kami harus membuang hampir separuh kantung yang tersisa.
Sekarang tidak lagi sulit untuk memberikan jus pepaya kepada Ara. Ara minum satu gelas besar jus pepaya di pagi hari dan satu gelas lagi di sore hari. Kami juga terus memberi supplement serat setiap malam yang kami campur dengan susunya. Hasilnya, Ara rutin ke toilet untuk b.a.b. sedikitnya satu kali sehari. Oh ya … Ara sekarang menolak untuk menggunakan dudukan toilet tambahan setiap kali dia hendak buang air. “Ara udah gede,” katanya ….